Jumat, 22 April 2011

"Tradisi denda" darah bayar darah di Kwamki (2010)

‘TRADISI DENDA’  DI KWAMKI’ Aksi saling serang antara  kampung Mambruk versus warga kampung Tunikama, di kelurahan Harapan Kwmki lama, distrik Mimika Baru,timika Papua, terus berlangsung secara sporadis disepanjang tahun 2010,pertikaian antar kedua kelompok di Kwamki  Lama, acapkali terjadi hanya  dipicu oleh perselisihan antar keluarga yang melibatkan suku atau klan  yang berasal dari pegunungan. Yang dalam perjalanan sejarah leluhurnya,  memilih dan menjadikan perang antar kelompok atau suku merupakan  salah satu media mencari kebenaran atas persoalan persoalan 
 yang bersifat prinsip, seperti batasan hutan atau tanah ulayat adat ,  termasuk pelecehan terhadap kaum perempuan dan perjinahan. Apabila upaya dan mediasi damai yang ditempuh pihak pihak yang bermasalah menemukan jalan buntu, maka perangpun menjadi pilihan.
 
Begitu pula yang terjadi dikelurahan kwamki lama timika. Karena kesepakatan bayar denda atas tindakan pemerkosaan yang dialami seorang perempuan bersuami warga kampung mambruk hingga hamil, sementara pihak  pelakunya dari kampung tunikama, sebelumnya sudah menyepakati  menyelesaikan kasus perjinahan dan pelecehan itu. ditempuh secara adat, dengan hukuman  membayar denda atas pelanggaran tersebut. namun dari waktu kewaktu kesepakatan denda hukum adat itu tak juga di penuhi oleh pihak kampung tunikama. akibatnya para Waimum, ( Panglima perang),dan kepala suku  dari kampung mambruk yang didominasi  masyarakat suku Dani, Damal dan Dem, yang bermukim dikedua kampung  itu, bersikeras menyelesaikan persoalan tersebut secara adat semakin tersulut. Dengan penuh emosi dan dendam, ritual buang suara,(memprovokasi), diperbatasan kedua kampungpun saling bersahut, berlanjut dengan saling melepaskan anak panah dari jubi jubi ( busur tardisional),akibatnya “perang suku” yang diselimuti dendam  berlangsung sejak 4 januari 2010 sampai dengan akhir tahun 2010. tak kunjung selesai, ratusan warga dari kedua kampung itu mengalami luka luka akibat lemparan batu dan senjata tradisonal seperti panah tombak dan tulang kaswari.tidak hanya itu empat warga dari kedua kampung itupun tewas saat baku serang terjadi diperbatasan antar kedua kampung. Untuk menghormati korban “perang “ yang tewas . sesuai  ketentuan adat untuk penghormatan atas pengorbanannya itu, jasadnyapun  dibakar.sehingga kepulan aspapembakaran jasad itu dapat dilihat dan menjadi sinyal jumlah korban yang tewas. Sehingga naluri menuntut darah ganti darah, nyawa bayar nyawapun semakin bergolak. Ironisnya, saat aparat kepolisian mencoba melerai dan medamaikan kedua kelompok yang terlibat pertikain itu dengan lugu dan lugasnya para waimum dan kepala suku .memohon agar polisi tidak ikut campur. Dengan dalih ini persoalan adat. ( photo essay/Muhammad Yamin )






Jumat, 15 April 2011

IRONI DIBALIK KEMATIAN DUA PEJABAT SECURITY FREEPORT SIAPA 'MEMBUNGKAM" DAN 'DIBUNGKAM'


Ironi Dibalik Misteri Kematian dua security Freeport
 Siapa ‘Membungkam’ dan ‘Dibungkam’
 
 KJT NEWS-Ironis karena seakan tak ada lagi kemampuan semua pihak untuk menyibak sebab-musabab  dibalik peristiwa tragis yang menimpa almarhum, Daniel Mansawan dan Hary Siregar, Kamis (7/4) pekan silam di Mile-Post (MP) 39 area PT Freeport Indonesia, di kabupaten Mimika.
Mati terpangkang masih dalam keadaan hidup atau bernafas, seperti dikatakan ahli forensik rumah sakit cipto mangun kusumo (RSCM) Jakarta, dr Jaya pada, Sabtu (9/4) pekan lalu di Tembagapura pasca otopsi jasad kedua almarhum yang hanya terisa abu dan arang itu. Nampaknya menjadi satu-satunya tragedi mengenaskan dalam kematian empat karyawan dan satu anggota Polri, di area penambangan PTFI sejak tahun 2009 lalu.
Sekonyong-konyong muncul kesan terbungkamnya hati nurani setiap orang yang mungkin mengetahui jejak-jejak kematian mereka yang kini telah tenang di alam baka, meski tetap menyayat pilu pedihan para isteri dan anak serta keluarga yang ditinggalkan. Seakan tak ada lagi rasa, selain bayangan keuntungan yang mampu dihasilkan setiap oknum dari ladang subur penmbagan emas dan tembaga, PT Freeport Indonesia.
 Siapakah yang telah ‘membungkam’ (tak ingin bicara-red) atau ‘dibungkam’,  kini wajar menjadi satu-satunya pertanyaan setiap karyawan PTFI bahkan orang di kabupaten Mimika dan Papua yang mengetahui betapa PTFI begitu getol mengagungkan setiap karyawannya menjadi asset terbesar perusahaan yang patut dan wajib dilindungi keselamatannya dari gangguan apapun, terlebih kematian tragis seperti yang dialami Mansawan-Siregar.
Kalau pun ada niat untuk bicara seperti yang sempat terungkap dalam perbincangan bersama Senior Manager Security Risk Management (SRM) PTFI, Simon Petrus Morin di Tembapura saat prosesi Otopsi jenazah masih berlangsung, Jumat (9/4), yang seakan menampilkan kebingungannya terhadap tindakan kedua almarhum saat kejadian untuk kembali ke tempat kejadian peristiwa (Tkp) penembakan, Rabu (6/4).
“Saya juga heran, kenapa Daniel (Almarhum) ini kembali ke Tkp, padahal pagi harinya, dia juga sudah ke sana. Kita kan sedang menunggu mereka berdua untuk rencana meeting sore itu di Kuala Kencana,” kata Morin dalam kesan mengeluarkan kepedihannya di hadapan isteri Siregar dan keluarga Mansawan.
Meski niat bicara itu terdengar hanya terbatas, tampaknya dapat juga memunculkan  persepsi yang mempertanyakan, siapakah yang telah memerintahkan kedua almarhum untuk kembali ke Tkp peristiwa, Rabu (6/4). Almarhum Mansawan, dalam perspektif ungkapan Morin tentu saja hendak dikatakan melakukan pelanggaran prosedur karena melakukan pekerjaan tanpa sepengetahuan Morin, pimpinannya selaku Senior Manager di lingkungan departemen SRM PTFI.
Namun adakah fakta lain yang mampu menggandeng niat pengakuan Morin? Departement Coorporate Communication (CorComm) PTFI pimpinan Ramdani Sirait, yang diketahui selama ini menjadi satu-satunya corong perusahaan, sepertinya tidak dapat diharapkan lagi. Karena, kalau pun ada niatan buka suara, itu hanya terbatas melalui program short message service (SMS) hand-phone seperti yang hampir seringkali dialami kalangan jurnalis yang siap sedia menyobek sekat pembungkaman misteri semacam ini.
 “Keluarga besar PTFI sangat berduka atas meninggalnya kedua karyawan kami tersebut dan rasa belasungkawa sedalam-dalamnya kami sampaikan kepada keluarga korban. Penyampaian rasa duka cita dan solidaritas beberapa karyawan PT Freeport Indonesia berlangsung dengan damai dan kegiatan operasi PT Freeport Indonesia berjalan dengan normal,” tulis Ramdani dalam SMS-nya melalui salah satu staffnya, Stevanus Branco  kepada wartawan di Timika sesaat setelah peristiwa penemuan jasad Mansawan-Siregar terjadi.
Juru bicara perusahaan sekaliber PT Freeport Indonesia dalam modus ini sekonyong-konyong hendak menjelaskan betapa harapan keluarga korban, seperti yang sempat diungkap isteri almarhum Mansawan, Welmina Nussy Mansawan, Senin (11/4) di depan office building (OB)1 Kuala Kencana agar pihak perusahaan bersedia mengungkap misteri kematian suaminya, nampaknya hanya akan tetap menjadi misteri  yang sulit terpecahkan.
Kalau pun ada fakta lapangan yang sempat diketahui karyawan PT Freeport Indonesia terhadap peristiwa kematian Mansawan-Siregar, niatan membuka suara itu pun jelas akan terasa bagaikan memberikan kesempatan hidup kepada ‘singa lapar’ yang siap melahap kehidupan sang karyawan itu sendiri.
Jangankan untuk berbagi fakta dan data yang mungkin diketahuinya, karena untuk menampilkan wujud solidaritas komitmennya untuk berbagi bersama keluarga korban  dengan resiko tidak bekerja saja, terdapat kesan kekuatiran yang besar di antara karyawan. Memilih tekanan pihak manajemen pun terpaksa menjadi pilihan satu-satunya bagi karyawan,  meski resah dan gelisah memikirkan juga nasibnya yang juga berpeluang mengalami nasib tragis yang sama dengan kedua almarhum yang sudah pergi mendahului.
Fakta ini jelas menjadi indikator bagaimana hati nurani setiap karyawan akan ‘dibungkam’ secara sengaja atau tidak (membungkam), meski dalam kepedihannya mengantarkan jasad almarhum Siregar dan Mansawan yang entah bagaimana bentuknya. Suara nurani itu pun mampu berteriak, meski harus terbatas dalam kerumunan ribuan forum kedukaan itu.”Jangan bunuh kami..! Kami juga anak negeri..! Kami anak bangsa ini...!.”
Suka tidak suka, mau tak mau!
Satu-satunya harapan yang mungkin masih tersisa bagi keluarga korban dan sekian ribu karyawan PT Freeport Indonesia, yang kini harus berpikir dan menantikan kapan gilirannya atau siapakah lagi yang siap dikorbankan atau menjadi korban? Tinggal lah mengharap masih adanya tindakan profesional penyidikpihak berwenang dalam nurani untuk siap menghentikan tragedi yang selama ini terbukti, terus mempermainkan kemanusiaan manusia di tanah ini. 
Termasuk secuil fakta yang sempat didapati tulisan ini, nampaknya ada juga secercah harapan untuk menantikan kepastian usaha pimpinan PT Freeport Indonesia, Armando Mahler, yang dalam kesempatan perbincangan di Tembagapura, Sabtu (9/4) juga sempat meminta jajaran Intelejent Section SRM Departemen PTFI untuk sesegera mungkin membantu pengungkapan sebab-musabab kematian misterius Mansawan-Siregar ini.
“Saya minta barang bukti yang ada di Kepolisian dapat dijaga 24 jam dan sesegera mungkin dapat dibantu agar pengungkapan pelaku peristiwa tragis ini dapat diungkap dan pelakunya diberikan sangsi hukum tegas,” kata Mahler yang sempat terucap saat menantikan penjelasan hasil forensik dr Jaya, di salah satu ruangan ISOS Hospital Tembagapura.
Bahkan dalam kesempatan pelepasan jenazah almarhum Mansawan di OB 1 Kuala Kencana, PTFI yang sempat diwakili salah satu Vice Presiden-nya, Sinta Sirait di hadapan keluarga korban dan ribuan karyawan PT Freeport Indonesia pun sudah sempat mengakui.

“Kami berterima kasih atas kepercayaan pihak keluarga kepada perusahaan untuk berusaha menyelesaikan masalah ini,” kata Sinta yang disambut tepuk- riuh pelayat jenazah almarhum Mansawan.
Masih akan ada atau tidaknya tragedi ironis terhadap manusia di tanah ini, khususnya dalam lingkungan perusahaan penambangan raksasa emas dan tembaga, PT Freeport Indonesia ? Sesungguhnya hanya akan tergantung pada niatan untuk ‘membungkam’ nurani atau membiarkannya ‘dibungkam’ demi kepentingan keuntungan semata dan sesaat. 
Hari ini dan saat ini, jeritan kepanasan Mansawan-Siregar memang telah tertutupi dalam kehidupan abadi bersama sang Khalik. Namun Mansawan-Siregar lainnya pun masih tersisa,  dan pertanyaan terhadap misteri ini pun masih akan terngiang di pendengaran. Semoga tidak ada yang ‘membungkam’ dan berdoalah agar tak ada pula yang ‘dibungkam’. ( samuel wanda/ komunitas jurnalis Timika)

Taling Freeport di Timika seluas mata memandang, bak bencana untuk generasi suku Kamoro

Sejak Tahun 2006 jumlah pendulang ilegal yang beropersi di kawasan kontrak karya PT Freeport terus bertambah, menurut catatn asosiasi pendulang tradisional di timika, tahun 2010 jumlah pendulang dari kali kabur di desa banti hingga ke muara sungai otomona mencapai sepuluh ribu lebih.( Muhammad Yamin/ menetap di Timika Papua)

Ribuan pendulang yang beropesi di aliran taling Pt freeport yang menggunakan aliran sungai otomona, menggunakan airraksa/ mercury, untuk mengolah bubuk emas hasil dulanganya.( Muhammad Yamin / menetap di Timika Papua )
Hamparan tailing mengendap di sepanjang kali otomona hingga meluber ke dalam hutan adat milik suku kamoro, akibatnya sebahagian besar hutan yang merupakan sumber penghidupan suku itu tak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya ( Muhammad Yamin / menetap di Timika Papua)



HAMPARAN TAILING:Pasir sisa tambang ini merupakan ampas terkahir yang di produksi oleh Pt freeport di tembagapura Timika Papua, dengan alasan kondisi geografis di Timika yang memilik sifat kelabilan struktur tanah  PT Freport  menetapkan pembuangan Tailing dengan memodivikasi  aliran sungai Otomona dan Ajikwa yang bermuara di laut Arafuru. PT Freeport mengklaim pengelolaan limbah tambang ini sudah di lakukan secara profesional,namun nyatanya deposit tailing ini tidak hanya mrubah dan merusak aliran sungai yang jernih menjadi kabur, namun ribuan hektar hutan adat suku kamoro rusak parah, termasuk hutan sagu yang merupakan hutan adat buat seluruh generassi suku kamoro di pesisir mimika timur rusak berat, dan hampir seluruh warga suku kamoro disekitar itu terpaksa menjalani aktivitas  mencari ikan harus menjauh dari  aliran taiking dengan radius puluhan kilo meter hamparan tailing Freeport.  Sejak sepuluh tahun terakhir jumlah penambang tradisional beropersi di sepanjang sungai Otomona dan ajikwa, yang masuk wilayah kontrak kerja freeport, yang juga masuk bahagian dari kawasan taman nasioanl Lorent, terus bertambah catatan asosiasi pendulang di timkka jumlahnya sudah menembus sepuluh ribu penambang,setiap hari beropersi disepanjang sungai. merekapun menggunakan mercury untuk memproses hasil dulanganya yang juga menggunakan aliran sungi yang sama. Sementara Pihak Freeport berdalih masalah pendulang yang menggunakan mercury bukan tanggung jawab perusahaan, padahal apapun alasanya. tidak mungkin pendulang tradisional berada disepnajang sungai dari mile 68 desa banti hingga kalikabur didistrik mimika baru. jikalau Freeport tidak menggunakan aliran sungai untuk membuanag limbah produksinya di Mile 74  Tembagapura, tidak hanya itu pada bulan februari tahun 2006, manajemn Freeport melalui departemn securitynya pernah melakukan sweping terhadap ribuan pendulang dikawasan desa banti di sekitar areal tambang tembagapura, namun  usaha ini mendapatkan perlawana oleh warga yang manyoritas merupakan warga  asli dari kawasan pegunungan tengah.akibatnya produksi Freeport saat itu sempat terhenti selama sepekan. Sejak itulah Freeport membiarkan jumlah penambang illegal beropersi di kawasanya, bahkan di jembatan mile 34 freeport menyediakan jembatan khusu pendulang. Dengan lasan biar tidak menggagu aktifitas lalulintas kendaraan pryek di kawasan itu.yang menjadi pertanyan besar mengapa pembuangan tailing itu menggunakan aliran sungai yang bisa diakses oleh warga secar bebas walaupun itu masuk wilayah kontarak karya yang berdasrkan keputusan menteri pertambangan kawas itu tertutup untuk umum. Namun ribuan pendulang tradisional secara illegal melakukan aktifitas tanpa bisa di control sehingga semakin memaperparah kondisi lingkungan khusunya hutan adat suku Kamoro. Tidakah Freeport seharusnya mencari cara lain untukpembuangan tailing sehingga tidak mengundang ribuan pendulang  yang sebahagian beas adalam masyarakat pendatang dari luar kabupaten mimika dan luar pulau Papua.( Muhammad yamin/ jurnalis menetap Di Timika)

Ratusan hektar hutan sagu milik suku kamoro rusak akibat endapan tailing sehingga tak ada tumbuhan yang mampu hidup dan beradaptasi dengan unsur unsur yang terkandung di taling pembuangan limbah Pt Freeport di Timika Papua ( Muhammad Yamin / menetap di Timika Papua)


Warga suku Kamoro kian hari kian terjepit, karena hutan dan sungai yang menjadi sahabat mereka sudah rusak dan tak mungkin bisa dikembalikan atau di rehabilitasi dalam waktu singkat. ( Muhammad Yamin ? menetap di Timika Papua)